( Sekilas Perbandingan dengan Prinsip Kepailitan dalam Undang – Undang Nomor 37 Tahun 2004 )
Oleh
Hirmawan Susilo[1] dan Rahmat Basmalah[2]
I Pendahuluan
Ketika debitor berada dalam keadaan tidak membayar, baik karena ketidakmampuannya maupun karena tidak mau melaksanakan kewajibannya terhadap prestasi, maka dikatakan sebagai tindakan wanprestasi. Terkait debitor mempunyai banyak kreditor dan harta kekayaan debitor tidak cukup untuk membayar lunas semua kreditor, maka para kreditor akan berlomba dengan segala cara baik yang sesuai dengan prosedur hukum maupun yang tidak sesuai dengan prosedur hukum, guna mendapatkan pelunasan tagihannya terlebih dahulu. Kreditor yang datang belakangan sudah tidak dapat lagi pembayaran karena harta debitor sudah habis diambil oleh kreditor yang lebih dahulu. Hal ini sangat tidak adil dan merugikan bagi kreditor maupun debitor sendiri. Berdasarkan alasan – alasan tersebut, timbullah lembaga kepailitan yang mengatur tata cara yang adil membayar tagihan – tagihan para kreditor.[3]
Sebagai sebuah negara hukum, sudah seharusnya pemerintah membuat regulasi untuk mengatur aktifitas bisnis, serta tatacara manakala terjadi sengketa, termasuk sengketa dalam kegiatan ekonomi syariah. Undang – Undang Nomor 3 Tahun 2006 pada pasal 49 huruf i menyebut dengan jelas, bahwa Pengadilan Agama berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang –orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah. Kewenangan sebagai penyelesai sengketa di bidang perbankan syariah, juga dimuat dalam pasal 55 ayat 1 Undang – Undang 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, terutama setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/ PUU-X/ 2012 Tanggal 29 Agustus 2013, sehingga semakin menegaskan kewenangan absolut peradilan agama di bidang ekonomi syariah.
Berbagai jenis perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 Undang – Undang Nomor 3 Tahun 2006 di atas, tidak mencantumkan kepailitan sebagai cakupan kewenangan pengadilan agama dalam mengadili perkara tentang ekonomi syariah. sedangkan Undang- Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 belum memenuhi perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia yang sebagian besar beragama Islam. Dalam Undang-undang tersebut tidak diatur kepailitan berdasarkan sistem ekonomi syariah yang berbasis kepada hukum Islam.[4]
Perkara kepailitan yang para pihaknya melakukan akad atau perjanjian menurut prinsip ekonomi syariah, dalam faktanya diadili oleh peradilan niaga dalam lingkungan peradilan umum. Hal itu tidak lepas karena tidak adanya pengaturan kepailitan dalam hukum ekonomi syariah di Indonesia. Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Pemberlakuan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah ( KHES )[5], dimana secara eksplisit disebutkan dalam kompilasi tersebut bahwa seseorang atau sebuah badan hukum dinyatakan pailit oleh pengadilan/ mahkamah sya’iyah dalam lingkungan peradilan agama.[6]
Penyebutan pailit atau disebut juga taflis dalam KHES ada dalam beberapa pasal secara terpisah – pisah. Penyebutan tersebut tidak terfokus pada sebuah bab yang khusus mengatur kepailitan dan bagaimana menegakkan hukum kepailitan bidang ekonomi syariah. Hal itu menimbulkan kekosongan aturan hukum, khususnya dalam peradilan perkara kepailitan yang pihak – pihaknya melakukan akad perjanjian berdasar atas prinsip ekonomi syari’ah. Adanya Kekosongan aturan tersebut, maka perlu didekati secara konseptual untuk memahami prinsip hukum Islam dalam mengatur kepailitan, sekalihus sebagai perbandingan dengan prinsip hukum kepailitan yang telah ada di Indonesia khususnya dalam Undang – Undang Nomor 37 Tahun 2004
II PEMBAHASAN
- Pengertian Kepailitan Secara Umum
Kepailitan memiliki sejarah panjang tentang keberlakuannya Indonesia. Hukum kepailitan yang semula berlaku di Indonesia adalah Faillissement Verordening atau Peraturan Kepailitan yang termuat dalam Staatsblad Tahun 1905 No. 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348. Berbagai aturan perundang – undangan silih berganti mengatur tentang kepailitan tersebut, hingga kemudian yang terakhir lahirlah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Istilah kepailitan secara itimologi, berasal dari kata “pailit”. Selanjutnya istilah “pailit” berasal dari kata Belanda failliet yang mempunyai arti ganda yaitu sebagai kata benda dan kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran, sedangkan orang yang mogok atau berhenti membayar dalam bahasa Perancis Le faili. Kata kerja failir artinya gagal. Sedangkan dalam bahasa Inggris dikenal dengan kata to fail dengan arti yang sama, dan dalam bahasa latin disebut failure. Kemudian istilah kepailitan dalam pengertian hukum, istilah faillet menandung unsur – unsur tersendiri yang dibatasi secara tajam, namun definisi mengenai pengertian itu tidak ada dalam undang – undang. Selanjutnya istilah pailit itu dalam bahasa Belanda adalah faiyit, maka ada pula sementara orang yang menerjemahkannya sebagai palyit dan faillissement sebagai kepailitan. Kemudian pada negara – negara yang berbahasa Inggris untuk pengertian pailit dan kepailitan mempergunakan istilah bankrupt dan bankruptcy.[7]
Bahasa Inggris menyebutnya dengan “ bankrupt” yang dalam Black’s Law Dictionary[8] didefinisikan dengan, Indebted beyond the means of payment ; insolvent. Sedangkan kepailitan atau Bankruptcy adalah :
A statutory procedure by which a ( usu.insolvent ) debtor obtains financial relief and undergoes a judicially supervised reorganization or liquidation of the debtor’s assets for the benefits of creditors.
( terjemahan bebas : sebuah prosedur hukum dimana seorang debitor yang bangkrut mendapatkan bantuan finansial dan diawasi secara hukum, atau likuidasi terhadap aset – aset debitor untuk kepentingan para kreditor )
Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1998 Pasal 1 ayat ( 1 ) menyebutkan :
Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu an apat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud pasal 2 baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya
Undang – Undang Nomor 37 Tahun 2004 tersebut, mendefinsikan kepailitan sebagai suatu sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang – undang.[9] Ketentuan kepailitan merupakan aturan yang mempunyai tujuan untuk melakukan pembagian harta debitor kepada para kreditornya dengan melakukan sita umum terhadap seluruh harta d ebitor yang selanjutnya dibagikan kepada kreditor sesuai dengan hak proporsinya. Ketentuan kepailitan ini merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari ketentuan lebih lanjut dari ketentuan pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata.
Pernyataan pailit harus melalui proses pemeriksaan di pengadilan setelah memenuhi persyaratan di dalam pengajuan permohonannya. Pengadilan yang dimaksud adalah Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan umum[10]. Adapun yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit adalah debitur, kreditur, kejaksaan untuk kepentingan umum, Bank Indonesia jika menyangkut bank sebagai debiturnya, serta Badan Pengawas Pasar Modal, bila debiturnya menyangkut pasar efek[11]. Hukum Acara yang digunakan adalah hukum acara perdata, kecuali ditentukan lain dalam Undang – Undang Kepailitan tersebut.[12]
Putusan kepailitan adalah bersifat serta merta dan konstitutif yaitu meniadakan keadaan dan menciptakan keadan hukum baru, dimana dalam putusan tersebut terdapat 3 hal yang esensial, yaitu :
1. Pernyataan bahwa si debitur pailit,
2. Pengangkatan seorang Hakim Pengawas yang ditunjuk dari hakim pengadilan.
3. Kurator.
Adapun pengurusan harta pailit dapat dilakukan oleh :
1. Hakim Pengawas,
2. Kurator.
Asas dalam Undang – Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yaitu :
1. Asas Keseimbangan
2. Asas Kelangsungan Usaha
3. Asas Keadilan
4. Asas Integrasi
Prinsip hukum kepailitan yang berlaku secara universal dalam Undang – Undang Kepailitan Indonesia. Beberapa prinsip hukum kepailitan dalam Undang – Undang Kepailitan ( UUK ) di Indonesia antara lain :
1. Prinsip Keseteraan Kreditor ( Paritas Creditorium )
2. Prinsip Pembagian menurut Perbandingan Piutang Masing – Masing Kreditor ( pari passu pro rata parte ).
3. Prinsip Klasifikasi Kreditor – Kreditor ;
Klasifikasi kreditor dalam kepailitan yaitu :
a. Kreditor Separatis.
b. Kreditor Preferen.,
c. Kreditor Konkuren
2.2 Kepailitan dalam Hukum Islam.
Pailit, dalam hukum Islam, dikenal dengan sebutan Taflis, yang berasal dari kata Iflaas yaitu tidak memiliki harta, sedang orang yang pailit disebut Muflis dan keputusan hakim yang menyatakan bahwa seorang jajtuh pailit disebut Tafliis[13]. Ulama Fiqh juga mendefinisikan Taflis adalahKeputusan Hakim yang melarang seseorang bertindak atas hartanya[14].
M Hasbi Ash-Shiddieqy menyebutkan bahwa Taflis atau Iflas ialah banyak hutang dari harta, hingga tak dapat harta itu membayar segala hutang. Hakim boleh mencegah orang yang dihukum Muflis, untuk mentasharufkan hartanya, agar tidak memelaratkan orang – orang yang memberi hutang kepadanya. (mencegah Muflis dari mentasyarufkan hartanya dinamakan “Hajr atau Hijr”)[15]
Pengertian Taflis/ Pailit, menurut Wahbah Azzuhaili, sebagai berikut :
Berdasar segi bahasa ( Lughawi ) : adalah sebutan untuk orang yang bangkrut, dan secara umum berarti orang yang tidak mempunyai harta sama sekali. Berdasar sisi istilah hukum ( Syar’i ) : Keputusan Hakim yang menyatakan orang yang berhutang sebagai orang yang bangkrut, yang ia dilarang untuk membelanjakan hartanya, dan harus ditunjuk seseorang untuk mengatur harta – harta orang tersebut dalam rangka pembayaran hutang – hutangnya.[16]
Muflis ( orang yang bangkrut ), dalam arti bahasa, adalah orang yang tidak punya pekerjaan yang bisa menutupi kebutuhannya. Sedangkan pengertian istilah, adalah orang yang dilarang oleh hakim untuk membelanjakan harta, karena dia terlilit utang yang menghabiskan seluruh hartanya dan bahkan masih kurang, dimana bila seluruh harta yang dimilikinya dibagikan kepada para pemilik piutang pasti tidak akan mencukupi.[17] Para ulama mazhab sepakat bahwa seoran muflis tidak dilarang menggunakan hartanya, sebesar apapun utangnya kecuali sesudah adanya larangan dari hakim. Kalau dia menggunakan hartanya sebelum adanya larangan hakim, maka tindakannya itu dinyatakan berlaku. Para Piutang dan siapa saja tidak berhak melarangnya, sepanjang hal itu tidak dimaksudkan untuk melarikan diri dari utang atau menggelapkan hak – hak orang lain yang ada pada dirinya.
Pailit dalam Ekonomi Syariah diucapkan dalam 2 ( dua ) konteks : Pertama, apabila hutang yang dipinjamkan oleh seseorang ( kreditur ) ternyata menghabiskan harta orang yang berhutang ( debitur ), sehingga hartanya tidak sanggup untuk membayar atau melunasi hutangnya tersebut. Kedua, bagi seseorang tidak mempunyai harta yang menjadi miliknya sendiri secara jelas[18].
Penguasa/ pemerintah boleh menahan seseorang yang pailit untuk membelanjakan hartanya, bahkan pemerintah tersebut boleh menjual harta orang tersebut dan kemudian membagikanya kepada para kreditor.[19]
Terlepas dari KHES yang menyamakan arti kata taflis dengan pailit, menurut penyusun kata yang sepadan dengan taflis tersebut adalah kata “ Bangkrut “, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti menderita kerugian besar hingga jatuh (tentang perusahaan, toko, dan sebagainya); gulung tikar: habis harta bendanya; jatuh miskin.[20] Kata dalam kamus tersebut terkandung arti habisnya harta yang juga sejalan dengan arti kata dari taflis sebagaimana tersebut di atas.
Identifikasi yang dapat diambil dari uraian kata taflis di atas adalah, bahwa taflis atau pailit atau bangkrut dalam hukum Islam mempunyai unsur – unsur sebagai berikut :
1. Orang yang berutang ( debitor ).
Debitor yang dimaksud adalah debitor yang berada dalam keadaan bangkrut, yang biasa disebut dengan istilah Muflis ;
2. Orang atau orang – orang yang punya piutang ( kreditor ),
Imam Maliki ( mazhab Maliki ) berpendapat bahwa kreditor ( orang yang memberi utang ) boleh mencegah – melalui tuntutan pengadilan – penggunaan hartanya orang yang bangkrut, yang dengan pencegahan itu maka debitor yang bangkrut ( muflis ) secara otomatis tidak punya hak kepemilikan harta dan dikatakan seperti anak yang baru tamyiz[21]
3. Adanya utang – utang yang belum dibayar.
4. Adanya ketetapan Qadhi/ hakim bahwa orang yang berutang dalam keadaan bangkrut atau tidak mampu membayar utang.
- Orang yang bangkrut dilarang untuk bertindak atas harta – hartanya yang dapat merugikan para kreditor ( Al Hajr ) :
b. Hendaknya diumumkan keadaan pailit/ taflis dan pemberlakuan al-hajr terhadap muflis,
c. Penunjukan seseorang untuk mengurus harta orang yang dinyatakan bangkrut serta mengatur pembagian harta tersebut (Kurator ).
5. Pemberlakuan prinsip kreditor yang didahulukan atas harta debitor pailit ;
Prinsip tersebut tergambar dengan jelas dalam hadits hadis yang mengatur bahwa barang siapa yang mendapatkan hartanya masih utuh pada seseorang yang pailit – atau seorang yang pailit – maka ia lebih berhak atas barangnya itu daripada orang lain.Hal itu mengatur adanya hak istimewa kreditor yang hubungan utang piutangnya dengan debitor diikat dengan adanya benda yang ada pada debitor, dimana kreditor yang merupakan pemilik barang yang masih belum dilunasi utangnya oleh debitor, paling berhak mengambil barang tersebut sebagai pelunasan utang, daripada kreditor yang lain.
III KESIMPULAN
Prinsip – prinsip kepailitan dalam hukum Islam yang telah dinormakan sejak awal lahirnya agama Islam atau zaman kenabian, lalu diteruskan dengan metode pengambilan hukum oleh para sahabat nabi, tabi’in serta ulama – ulama setelah masa tersebut dengan metode ijtihadnya baik melalui Ijma, Qiyas, maslahah mursalah atau lainnya. Hal itu telah sekian ratus bahkan ribuan tahun lamanya. Tentu saja untuk diterapkan sebagai aturan hukum, prinsip – prinsip kepailitan tersebut perlu diadaptasi sesuai dengan perkembangan zaman.
Secara umum, terdapat banyak persamaan antara kepailitan secara umum dengan kepailitan/ taflis dalam hukum ekonomi Islam. Perbedaan yang paling mendasar adalah adanya selisih pengertian atau ada perbedaan dalam cakupan pengertian kata antara taflis dengan pailit dalam undang – undang kepailitan di Indonesia Pengertian taflis meliputi keadaan tidak membayar karena jumlah harta debitor tidak lagi mencukupi untuk membayar utang – utangnya pada kreditor, sehingga diputuskan oleh hakim sebagai debitor yang muflis, dan kepadanya dilarang untuk berkuasa atas hartanya. Kepastian adanya keadaan seperti itu tidak terdapat dalam cakupan pengertian pailit dalam Undang – Undang Kepailitan, yang mendefinsikan kepailitan sebagai suatu sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang – undang Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Bryan A Garner, Black’s Law Dictionary, Ninth Edition ( Dallas, Texas, Thomson Reuters : 2009 )
Habib Nazir, Muhammad Hasanudin, Ensiklopedi Ekonomi Dan Perbankan Islam, ( Jakarta : Kafa Publising, 2004 )
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz 2 diterjemahkan oleh Abu Usamah Fakhtur ( Jakarta : Pustaka Azzam ).
M Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam ( Fiqh Muamalah), ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003).
M. Hadi Shubhan, Hukum Kepalitian, Prinsip, Norma Dan Praktik Di Pengadilan, ( Jakarta : Kencara Prenada Media Group, 2008
M Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum – Hukum Fiqh Islam,( Jakarta : Bulan Bintang)
Muhammad jawad Mughniyah, Al Fiqh ‘Ala Madzahib Al Khamsah diterjemahkan oleh Masykur A.B, Afif Muhammad, Idrus Al-Kaff, dalam Fiqh Lima Mazhab ( Jakarta : Penerbit Lentera, 2005 ).
Syamsudin Manan Sinaga, , Arbitrase Dan Kepailitan Dalam Sistem Ekonomi Syariah, artikel pada Majalah Hukum Nasional Nomor 1 Tahun 2007, ( Jakarta : Pusat Dokumentasi Dan Informasi Hukum Nasional, 2007)
Viktor M. Situmorang, Hendri Sukarso, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, ( Jakarta : PT Rineka Cipta, 1994 ).
Wahbah Az Zuhaili, Fiqhul Islam Waadillutuhu, ( Beirut : Daarul fikr juz 6, tanpa tahun ).
B. ATURAN PERUNDANG – UNDANGAN
1. Undang – Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
2. Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan Undang – Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang – Undang Nomor 50 Tahun 2009
3. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
4. KUH Perdata
[1] Hakim Pengadilan Agama Sumenep
[2] Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember
[3] M. Hadi Shubhan, Hukum Kepalitian, Prinsip, Norma Dan Praktik Di Pengadilan, ( Jakarta : Kencara Prenada Media Group, 2008 ). Hlm. 4
[4]Syamsudin Manan Sinaga, , Arbitrase Dan Kepailitan Dalam Sistem Ekonomi Syariah, artikel pada Majalah Hukum Nasional Nomor 1 Tahun 2007, ( Jakarta : Pusat Dokumentasi Dan Informasi Hukum Nasional, 2007). Hlm. 171.
[5] Dalam penulisan ini selanjutnya disebut juga dengan KHES Ditetapkan tanggal 10 September 2008, Terdiri dari 3 buku, yaitu BUKU I SUBYEK HUKUM DAN AMWAL, BUKU II TENTANG AKAD dan BUKU III ZAKAT DAN HIBAH.
[6] Pasal 1 angka 6 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah ( KHES ):” Muwalla adalah seseorang yang belum cakap melakukan perbuatan hukum, atau badan usaha yang dinyatakan taflis/ pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap “. Pasal 2 ayat (2) KHES: “ Badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum, dapat melakukan perbuatan hukum dalam hal tidak dinyatakan taflis/ pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Pasal 5 ayat (2) KHES : “ dalam hal badan hukum terbukti tidak mampu lagi berprestasi sehingga menghadapi kepailitan atau tidak mampu membayar utang dan meminta permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang, maka pengadilan dapat menetapkan kurator atau pengurus bagi badan hukum tersebut atas permohonan pihak yang berkepentingan “ Pasal 1 angka 8 KHES : “ Pengadilan adalah pengadilan/ mahkamah syar’iyah dlam lingkungan peradilan agama “
[7] Viktor M. Situmorang, Hendri Sukarso, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, ( Jakarta : PT Rineka Cipta, 1994 ). Hlm.18
[8] Bryan A Garner, Black’s Law Dictionary, Ninth Edition ( Dallas, Texas, Thomson Reuters : 2009 ) hlm. 166 .
[9] Pasal 1 Ayat (1) Undang – Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ( UUK ).
[10] Pasal 1 angka 7 UUK
[11] Pasal 2 ayat 1 sampai 5 UUK
[12] Pasal 299 5 UUK
[13] M Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam ( Fiqh Muamalah), ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003). Hlm. 195
[14] Ibid. Hlm. 196.
[15] M Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum – Hukum Fiqh Islam,( Jakarta : Bulan Bintang ) Hlm. 427.
[16] Wahbah Az Zuhaili, Fiqhul Islam Waadillutuhu, ( Beirut : Daarul fikr juz 6, tanpa tahun ). Hlm. 321.
[17]Muhammad jawad Mughniyah, Al Fiqh ‘Ala Madzahib Al Khamsah diterjemahkan oleh Masykur A.B, Afif Muhammad, Idrus Al-Kaff, dalam Fiqh Lima Mazhab ( Jakarta : Penerbit Lentera, 2005 ). Hlm.700.
[18] Habib Nazir, Muhammad Hasanudin, Ensiklopedi Ekonomi Dan Perbankan Islam, ( Jakarta : Kafa Publising, 2004 ).Hlm 622.
[19] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz 2 diterjemahkan oleh Abu Usamah Fakhtur ( Jakarta : Pustaka Azzam ). Hlm. 280.
[20] http://kbbi.web.id/bangkrut, diakses tanggal 5 Januari 2017, pukul 16.09
[21] Ibid